Migrasi Penduduk di Indonesia Sebelum Pemindahan Ibu Kota: Pengalaman Migrasi Jawa dan Implikasinya untuk Nusantara
Seiring dengan hampir selesainya tahap pertama proyek pemindahan ibu kota Indonesia, negara ini akan merayakan Hari Kemerdekaannya pada tahun 2024 untuk pertama kalinya di luar Pulau Jawa, menandai tonggak sejarah yang signifikan. Pemindahan ibu kota telah menarik perhatian internasional, namun konsep relokasi bukanlah hal baru bagi rakyat Indonesia. Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, pemerintah Suharto mendorong jutaan orang Indonesia untuk pindah dari pulau-pulau yang padat penduduk seperti Jawa dan Madura ke pulau-pulau luar yang kurang padat penduduknya melalui "Program Migrasi Domestik PELITA," yang berlanjut hingga akhir periode Orde Baru. Istilah "di luar Jawa" sering dikaitkan dengan keterbelakangan dan kemiskinan, dan membawa konotasi negatif.
Indonesia tidak memiliki sistem registrasi rumah tangga yang ketat; selama seseorang adalah warga negara Indonesia, mereka dapat tinggal, bekerja, dan belajar di mana saja di negara ini. Migrasi penduduk bukanlah fenomena baru. Setelah masa kolonial, Presiden Sukarno menekankan bahwa tujuan utama pemerintah baru adalah merelokasi 31 juta orang dalam 35 tahun ke depan. Di bawah tujuan besar ini, pemerintah pusat menggunakan insentif ekonomi untuk mengembangkan ekonomi lokal, memberikan subsidi kepada orang Jawa untuk mengolah pulau-pulau luar. Penerima manfaat dapat menerima dana dari pemerintah pusat untuk membeli tanah, dan ada juga migran spontan yang tidak didanai oleh pemerintah, serta sejumlah kecil pegawai negeri atau ekspatriat. Selain bantuan ekonomi resmi, Indonesia juga mencari dukungan finansial yang substansial dari lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk mempertahankan program migrasi domestik yang hampir setengah abad lamanya.
Selama periode "Orde Baru" di bawah Presiden Suharto (1966-1998), program migrasi mencapai puncaknya, dengan sejumlah besar orang dipindahkan, terutama ke Kalimantan, Sumatra, dan Papua Barat. Migrasi domestik ini menyebabkan peningkatan signifikan dalam populasi pulau-pulau luar. Menurut sensus nasional Indonesia tahun 2010, Sumatra Utara memiliki sekitar 4,3 juta migran, sementara seluruh pulau Kalimantan memiliki 2,6 juta migran dan keturunannya, menunjukkan dampak substansial pada struktur populasi lokal. Migran dari Jawa menerima perumahan, jatah makanan, dan subsidi lainnya atas nama "pembangunan nasional," sementara kepentingan dan hak-hak penduduk asli setempat sangat dirugikan.
Kebijakan-kebijakan ini sering mengabaikan kepentingan penduduk asli setempat selama pelaksanaannya, menyebabkan mereka terpinggirkan dan menimbulkan konflik serta kebencian antara mereka dan para migran. Kritikus menuduh program ini bertujuan untuk mengendalikan dan mengasimilasi populasi asli di pulau-pulau luar. Orang Dayak di Kalimantan, yang sebagian besar adalah Kristen dan penganut animisme—sistem kepercayaan tradisional yang umum di banyak suku asli—menghadapi konflik dengan migran Jawa dan Madura yang mayoritas Muslim. Pada tahun 2001, konflik berdarah antara migran Madura dan penduduk asli Dayak di Kalimantan Barat dan Tengah mengakibatkan ratusan korban jiwa, menandai pertumpahan darah paling parah dalam beberapa tahun terakhir di Kalimantan.
Program migrasi domestik abad lalu dikritik karena mempercepat asimilasi etnis. Setelah belajar dari pengalaman sejarah, dapatkah Indonesia menghindari pengulangan tragedi sejarah yang tidak menguntungkan? Saat seluruh rakyat Indonesia dengan antusias menantikan manfaat ekonomi dan peluang kerja yang dibawa oleh pemindahan ibu kota, dapatkah pendirian ibu kota baru berhasil menghilangkan narasi masa lalu yang berpusat pada Jawa? Indonesia saat ini sedang aktif menarik investasi asing dan menerapkan serangkaian langkah promosi investasi. Di tengah ketegangan internasional saat ini, Indonesia menghadapi masalah seperti biaya yang membengkak dan proyek yang tertunda. Pemerintah harus menangani masalah ini dengan hati-hati, karena perkembangan yang tidak seimbang bisa merugikan lingkungan lokal dan kepentingan masyarakat.
Catatan: Di atas merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap platform.